Tugas 1
- Fungsi bahasa
Secara umum bahasa didefinisikan sebagai lambang.
Bahasa adalah alat komunikasi yang berupa system lambang bunyi yang dihasilkan
alat ucap manusia.
Sebagaimana
kita ketahui, bahasa terdiri atas kata-kata atau kumpulan kata. Masing-masing
mempunyaimakna, yaitu, hubungan abstrak antara kata sebagai lambang dengan
objek atau konsep yang diwakiliKumpulan kata atau kosakata itu oleh ahli bahasa
disusun secara alfabetis, atau menurut urutan abjad,disertai penjelasan artinya
dan kemudian dibukukan menjadi sebuah kamus atau leksikon.
Fungsi
bahasa secara umum :
Fungsi utama bahasa adalah sebagai alat komunikasi untuk menyampaikan
informasi
Namun perlu diketahui juga bahwa fungsi bahasa pada dasarnya lebih dari
sekadar alat untuk menyampaikan informasi, atau mengutarakan pikiran, perasaan,
atau gagasan. Bahasa mempunyai fungsi yang lebih luas lagi antara lain sebagai
berikut :
- Untuk tujuan praktis : mengadakan hubungan dalam pergaulan sehari-hari.
- Untuk tujuan artistik : manusia mengolah dan menggunakan bahasa dengan seindah-indahnya guna pemuasan rasa estetis manusia.
- Sebagai kunci mempelajari pengetahuan-pengetahuan lain, di luar pengetahuan kebahasaan.
- Untuk mempelajari naskah-naskah tua guna menyelidiki latar belakang sejarah manusia, selama kebudayaan dan adat-istiadat, serta perkembangan bahasa itu sendiri (tujuan filologis).
a. Sebagai alat komunikasi
Penggunaan
bahasa sebagai alat komunikasi, memiliki tujuan tertentu yaitu agar kita
dipahami oleh orang lain. Jadi dalam hal ini respons pendengar atau lawan
komunikan yang menjadi perhatian utama kita.·
Bahasa sebagai alat komunikas, bahasa merupakan alat untuk merumuskan maksud
kita, Dengan komunikasi, kita dapat menyampaikan semua yang kita rasakan,
pikirkan, dan ketahui kepada orang lain. Dengan komunikasi, kita dapat mempelajari dan mewarisi semua yang pernah
dicapai oleh nenek moyang kita dan apa yang telah dicapai oleh orang-orang
sejaman kita. Bahasa adalah alat untuk berkomunikasi melalui lisan (bahasa primer) dan
tulisan (bahasa sekunder)
Tulisan adalah susunan dari simbol (huruf) yang dirangkai menjadi kata bermakna
dan dituliskan. Bahasa lisan lebih ekspresif dimana mimik, intonasi, dan
gerakan tubuh dapat bercampur menjadi satu untuk mendukung komunikasi yang
dilakukan. Lidah setajam pisau / silet oleh karena itu sebaiknya dalam
berkata-kata sebaiknya tidak sembarangan dan menghargai serta menghormati lawan
bicara / target komunikasi
Bahasa sebagai sarana komunikasi mempunyai fungsi utama bahasa adalah bahwa
komunikasi ialah penyampaian pesan atau makna oleh seseorang kepada orang lain.
Keterikatan dan keterkaitan bahasa dengan manusia menyebabkan bahasa tidak
tetap dan selalu berubah seiring perubahan kegiatan manusia dalam kehidupannya
di masyarakat. Perubahan bahasa dapat terjadi bukan hanya berupa pengembangan
dan perluasan, melainkan berupa kemunduran sejalan dengan perubahan yang
dialami masyarakat. Terutama pada pengguna fungsi komunikasi pada bahasa asing
sebagai contoh masyarakat Indonesia lebih sering menempel ungkapan “No Smoking”
daripada “Dilarang Merokok”, “Stop” untuk “Berhenti”, “Exit” untuk “Keluar”,
“Open House” untuk penerimaan tamu dirumah pada saat lebaran. Jadi bahasa
sebagai alat komunikasi tidak hanya dengan satu bahasa melainkan banyak bahasa.
b. Sebagai alat untuk
mengembangkan ilmu pengetahuan
Menurut Sunaryo (2000 : 6), tanpa adanya bahasa (termasuk bahasa Indonesia)
IPTEK tidak dapat tumbuh dan berkembang. Selain itu bahasa Indonesia di dalam
struktur budaya, ternyata memiliki kedudukan, fungsi, dan peran ganda, yaitu
sebagai akar dan produk budaya yang sekaligus berfungsi sebagai sarana berpikir
dan sarana pendukung pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Tanpa peran bahasa serupa itu, ilmu pengetahuan dan teknologi tidak
akan dapat berkembang. Implikasinya di dalam pengembangan daya nalar,
menjadikan bahasa sebagai prasarana berpikir modern. Oleh karena itu, jika
cermat dalam menggunakan bahasa, kita akan cermat pula dalam berpikir karena
bahasa merupakan cermin dari daya nalar (pikiran).
Dikatakan oleh para ahli budaya, bahwa bahasalah yang memungkinkan kita
membentuk diri sebagai makhluk bernalar, berbudaya, dan berperadaban. Dengan bahasa,
kita membina hubungan dan kerja sama, mengadakan transaksi, dan melaksanakan
kegiatan sosial dengan bidang dan peran kita rnasing-masing. Dengan bahasa kita
mewarisi kekayaan masa larnpau, rnenghadapi hari ini, dan merencanakan masa
depan.
Jika dikatakan bahwa setiap orang membutuhkan informasi itu benar. Kita
ambil contoh, misalnya, mahasiswa. la membutuhkan informasi yang berkaitan
dengan bidang studinya agar lulus dalarn setiap ujian dan sukses meraih gelar
atau tujuan yang diinginkan. Seorang dokter juga sama. la memerlukan informasi
tentang kondisi fisik dan psikis pasiennya agar dapat menyembuhkannya dengan
segera. Contoh lain, seorang manager yang mengoperasikan, mengontrol atau
mengawasi perusahaan tanpa informasi ia tidak mungkin dapat mengambil keputusan
atau menemukan kebijaksanaan, Karena setiap orang membutuhkan informasi,
komunikasi sebagai proses tukar-menukar informasi, dengan sendirinya juga
mutlak menjadi kebutuhan setiap orang.
b.
Sifat-sifat Bahasa
1. Bahasa itu adalah Sebuah Sistem
Sistem berarti susunan teratur berpola yang membentuk suatu keseluruhan yang bermakna atau berfungsi. sistem terbentuk oleh sejumlah unsur yang satu dan yang lain berhubungan secara fungsional. Bahasa terdiri dari unsur-unsur yang secara teratur tersusun menurut pola tertentu dan membentuk satu kesatuan.
Sebagai sebuah sistem,bahasa itu bersifat sistematis dan sistemis. Sistematis artinya bahasa itu tersusun menurut suatu pola, tidak tersusun secara acak. Sistemis artinya bahasa itu bukan merupakan sistem tunggal, tetapi terdiri dari sub-subsistem atau sistem bawahan (dikenal dengan nama tataran linguistik). Tataran linguistik terdiri dari tataran fonologi, tataran morfologi, tataran sintaksis, tataran semantik, dan tataran leksikon. Secara hirarkial, bagan subsistem bahasa tersebut sebagai berikut.
2. Bahasa itu Berwujud Lambang
Lambang dengan berbagai seluk beluknya dikaji orang dalam bidang kajian ilmu semiotika, yaitu ilmu yang mempelajari tanda-tanda yang ada dalam kehidupan manusia. Dalam semiotika dibedakan adanya beberapa tanda yaitu: tanda (sign), lambang (simbol), sinyal (signal), gejala (sympton), gerak isyarat (gesture), kode, indeks, dan ikon. Lambang bersifat arbitrer, artinya tidak ada hubungan langsung yang bersifat wajib antara lambang dengan yang dilambangkannya.
3. Bahasa itu berupa bunyi
Menurut Kridalaksana (1983), bunyi adalah kesan pada pusat saraf sebagai akibat dari getaran gendang telinga yang bereaksi karena perubahan dalam tekanan udara. Bunyi bahasa adalah bunyi yang dihasilkan alat ucap manusia. Tetapi juga tidak semua bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia termasuk bunyi bahasa.
4. Bahasa itu bersifat arbitrer
Kata arbitrer bisa diartikan ’sewenang-wenang, berubah-ubah, tidak tetap, mana suka’. Yang dimaksud dengan istilah arbitrer itu adalah tidak adanya hubungan wajib antara lambang bahasa (yang berwujud bunyi itu) dengan konsep atau pengertian yang dimaksud oleh lambang tersebut. Ferdinant de Saussure (1966: 67) dalam dikotominya membedakan apa yang dimaksud signifiant dan signifie. Signifiant (penanda) adalah lambang bunyi itu, sedangkan signifie (petanda) adalah konsep yang dikandung signifiant.
Bolinger (1975: 22) mengatakan: Seandainya ada hubungan antara lambang dengan yang dilambangkannya itu, maka seseorang yang tidak tahu bahasa tertentu akan dapat menebak makna sebuah kata apabila dia mendengar kata itu diucapkan. Kenyataannya, kita tidak bisa menebak makna sebuah kata dari bahasa apapun (termasuk bahasa sendiri) yang belum pernah kita dengar, karena bunyi kata tersebut tidak memberi ”saran” atau ”petunjuk” apapun untuk mengetahui maknanya.
5. Bahasa itu bermakna
Salah satu sifat hakiki dari bahasa adalah bahasa itu berwujud lambang. Sebagai lambang, bahasa melambangkan suatu pengertian, suatu konsep, suatu ide, atau suatu pikiran yang ingin disampaikan dalam wujud bunyi itu. Maka, dapat dikatakan bahwa bahasa itu mempunyi makna. Karena bahasa itu bermakna, maka segala ucapan yang tidak mempunyai makna dapat disebut bukan bahasa.
[kuda], [makan], [rumah], [adil], [tenang] : bermakna = bahasa
[dsljk], [ahgysa], [kjki], [ybewl] : tidak bermakna = bukan bahasa
6. Bahasa itu bersifat konvensional
Meskipun hubungan antara lambang bunyi dengan yang dilambangkannya bersifat arbitrer, tetapi penggunaan lambang tersebut untuk suatu konsep tertentu bersifat konvensional. Artinya, semua anggota masyarakat bahasa itu mematuhi konvensi bahwa lambang tertentu itu digunakan untuk mewakili konsep yang diwakilinya. Misalnya, binatang berkaki empat yang biasa dikendarai, dilambangkan dengan bunyi [kuda], maka anggota masyarakat bahasa Indonesia harus mematuhinya. Kalau tidak dipatuhinya dan digantikan dengan lambang lain, maka komunikasi akan terhambat.
1. Bahasa itu adalah Sebuah Sistem
Sistem berarti susunan teratur berpola yang membentuk suatu keseluruhan yang bermakna atau berfungsi. sistem terbentuk oleh sejumlah unsur yang satu dan yang lain berhubungan secara fungsional. Bahasa terdiri dari unsur-unsur yang secara teratur tersusun menurut pola tertentu dan membentuk satu kesatuan.
Sebagai sebuah sistem,bahasa itu bersifat sistematis dan sistemis. Sistematis artinya bahasa itu tersusun menurut suatu pola, tidak tersusun secara acak. Sistemis artinya bahasa itu bukan merupakan sistem tunggal, tetapi terdiri dari sub-subsistem atau sistem bawahan (dikenal dengan nama tataran linguistik). Tataran linguistik terdiri dari tataran fonologi, tataran morfologi, tataran sintaksis, tataran semantik, dan tataran leksikon. Secara hirarkial, bagan subsistem bahasa tersebut sebagai berikut.
2. Bahasa itu Berwujud Lambang
Lambang dengan berbagai seluk beluknya dikaji orang dalam bidang kajian ilmu semiotika, yaitu ilmu yang mempelajari tanda-tanda yang ada dalam kehidupan manusia. Dalam semiotika dibedakan adanya beberapa tanda yaitu: tanda (sign), lambang (simbol), sinyal (signal), gejala (sympton), gerak isyarat (gesture), kode, indeks, dan ikon. Lambang bersifat arbitrer, artinya tidak ada hubungan langsung yang bersifat wajib antara lambang dengan yang dilambangkannya.
3. Bahasa itu berupa bunyi
Menurut Kridalaksana (1983), bunyi adalah kesan pada pusat saraf sebagai akibat dari getaran gendang telinga yang bereaksi karena perubahan dalam tekanan udara. Bunyi bahasa adalah bunyi yang dihasilkan alat ucap manusia. Tetapi juga tidak semua bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia termasuk bunyi bahasa.
4. Bahasa itu bersifat arbitrer
Kata arbitrer bisa diartikan ’sewenang-wenang, berubah-ubah, tidak tetap, mana suka’. Yang dimaksud dengan istilah arbitrer itu adalah tidak adanya hubungan wajib antara lambang bahasa (yang berwujud bunyi itu) dengan konsep atau pengertian yang dimaksud oleh lambang tersebut. Ferdinant de Saussure (1966: 67) dalam dikotominya membedakan apa yang dimaksud signifiant dan signifie. Signifiant (penanda) adalah lambang bunyi itu, sedangkan signifie (petanda) adalah konsep yang dikandung signifiant.
Bolinger (1975: 22) mengatakan: Seandainya ada hubungan antara lambang dengan yang dilambangkannya itu, maka seseorang yang tidak tahu bahasa tertentu akan dapat menebak makna sebuah kata apabila dia mendengar kata itu diucapkan. Kenyataannya, kita tidak bisa menebak makna sebuah kata dari bahasa apapun (termasuk bahasa sendiri) yang belum pernah kita dengar, karena bunyi kata tersebut tidak memberi ”saran” atau ”petunjuk” apapun untuk mengetahui maknanya.
5. Bahasa itu bermakna
Salah satu sifat hakiki dari bahasa adalah bahasa itu berwujud lambang. Sebagai lambang, bahasa melambangkan suatu pengertian, suatu konsep, suatu ide, atau suatu pikiran yang ingin disampaikan dalam wujud bunyi itu. Maka, dapat dikatakan bahwa bahasa itu mempunyi makna. Karena bahasa itu bermakna, maka segala ucapan yang tidak mempunyai makna dapat disebut bukan bahasa.
[kuda], [makan], [rumah], [adil], [tenang] : bermakna = bahasa
[dsljk], [ahgysa], [kjki], [ybewl] : tidak bermakna = bukan bahasa
6. Bahasa itu bersifat konvensional
Meskipun hubungan antara lambang bunyi dengan yang dilambangkannya bersifat arbitrer, tetapi penggunaan lambang tersebut untuk suatu konsep tertentu bersifat konvensional. Artinya, semua anggota masyarakat bahasa itu mematuhi konvensi bahwa lambang tertentu itu digunakan untuk mewakili konsep yang diwakilinya. Misalnya, binatang berkaki empat yang biasa dikendarai, dilambangkan dengan bunyi [kuda], maka anggota masyarakat bahasa Indonesia harus mematuhinya. Kalau tidak dipatuhinya dan digantikan dengan lambang lain, maka komunikasi akan terhambat.
7. Bahasa
itu bersifat unik
Bahasa dikatakan bersifat unik, artinya setiap bahasa mempunyai ciri khas sendiri yang tidak dimiliki oleh bahasa lainnya. Ciri khas ini bisa menyangkut sistem bunyi, sistem pembentukan kata, sistem pembentukan kalimat, atau sistem-sistem lainnya.
8. Bahasa itu bersifat universal
Selain bersifat unik, bahasa juga bersifat universal. Artinya, ada ciri-ciri yang sama yang dimiliki oleh setiap bahasa yang ada di dunia ini. Misalnya, ciri universal bahasa yang paling umum adalah bahwa bahasa itu mempunyai bunyi bahasa yang terdiri dari vokal dan konsonan.
9. Bahasa itu bersifat produktif
Bahasa bersifat produktif, artinya meskipun unsur-unsur bahasa itu terbatas, tetapi dengan unsur-unsur yang jumlahnya terbatas itu dapat dibuat satuan-satuan bahasa yang tidak terbatas, meski secara relatif, sesuai dengan sistem yang berlaku dalam bahasa itu. Misalnya, kita ambil fonem dalam bahasa Indonesia, /a/, /i/, /k/, dan /t/. Dari empat fonem tersebut dapat kita hasilkan satuan-satuan bahasa:
Bahasa dikatakan bersifat unik, artinya setiap bahasa mempunyai ciri khas sendiri yang tidak dimiliki oleh bahasa lainnya. Ciri khas ini bisa menyangkut sistem bunyi, sistem pembentukan kata, sistem pembentukan kalimat, atau sistem-sistem lainnya.
8. Bahasa itu bersifat universal
Selain bersifat unik, bahasa juga bersifat universal. Artinya, ada ciri-ciri yang sama yang dimiliki oleh setiap bahasa yang ada di dunia ini. Misalnya, ciri universal bahasa yang paling umum adalah bahwa bahasa itu mempunyai bunyi bahasa yang terdiri dari vokal dan konsonan.
9. Bahasa itu bersifat produktif
Bahasa bersifat produktif, artinya meskipun unsur-unsur bahasa itu terbatas, tetapi dengan unsur-unsur yang jumlahnya terbatas itu dapat dibuat satuan-satuan bahasa yang tidak terbatas, meski secara relatif, sesuai dengan sistem yang berlaku dalam bahasa itu. Misalnya, kita ambil fonem dalam bahasa Indonesia, /a/, /i/, /k/, dan /t/. Dari empat fonem tersebut dapat kita hasilkan satuan-satuan bahasa:
- /i/-/k/-/a/-/t/
- /k/-/i/-/t/-/a/
- /k/-/i/-/a/-/t/
- /k/-/a/-/i/-/t/
10. Bahasa
itu bervariasi
Anggota masyarakat suatu bahasa biasanya terdiri dari berbagai orang dengan berbagai status sosial dan latar belakang budaya yang tidak sama. Karena perbedaan tersebut maka bahasa yang digunakan menjadi bervariasi. Ada tiga istilah dalam variasi bahasa yaitu:
Anggota masyarakat suatu bahasa biasanya terdiri dari berbagai orang dengan berbagai status sosial dan latar belakang budaya yang tidak sama. Karena perbedaan tersebut maka bahasa yang digunakan menjadi bervariasi. Ada tiga istilah dalam variasi bahasa yaitu:
- Idiolek : Ragam bahasa yang bersifat perorangan.
- Dialek : Variasi bahasa yang digunakan oleh sekelompok anggota masyarakat pada suatu tempat atau suatu waktu.
- Ragam : Variasi bahasa yang digunakan dalam situasi tertentu. Misalnya, ragam baku dan ragam tidak baku.
11. Bahasa
itu bersifat dinamis
Bahasa tidak pernah lepas dari segala kegiatan dan gerak manusia sepanjang keberadaan manusia itu sebagai makhluk yang berbudaya dan bermasyarakat. Karena keterikatan dan keterkaitan bahasa itu dengan manusia, sedangkan dalam kehidupannya di dalam masyarakat kegiatan manusia itu selalu berubah, maka bahasa menjadi ikut berubah, menjadi tidak tetap, menjadi dinamis. Perubahan itu dapat berupa pemunculan kata atau istilah baru, peralihan makna sebuah kata, dan perubahan-perubahan lainnya.
12. Bahasa itu manusiawi
Alat komunikasi manusia berbeda dengan binatang. Alat komunikasi binatang bersifat tetap, statis. Sedangkan alat komunikasi manusia, yaitu bahasa bersifat produktif dan dinamis. Maka, bahasa bersifat manusiawi, dalam arti bahasa itu hanya milik manusia dan hanya dapat digunakan oleh manusia.
Bahasa tidak pernah lepas dari segala kegiatan dan gerak manusia sepanjang keberadaan manusia itu sebagai makhluk yang berbudaya dan bermasyarakat. Karena keterikatan dan keterkaitan bahasa itu dengan manusia, sedangkan dalam kehidupannya di dalam masyarakat kegiatan manusia itu selalu berubah, maka bahasa menjadi ikut berubah, menjadi tidak tetap, menjadi dinamis. Perubahan itu dapat berupa pemunculan kata atau istilah baru, peralihan makna sebuah kata, dan perubahan-perubahan lainnya.
12. Bahasa itu manusiawi
Alat komunikasi manusia berbeda dengan binatang. Alat komunikasi binatang bersifat tetap, statis. Sedangkan alat komunikasi manusia, yaitu bahasa bersifat produktif dan dinamis. Maka, bahasa bersifat manusiawi, dalam arti bahasa itu hanya milik manusia dan hanya dapat digunakan oleh manusia.
Tugas 2
a. Pengertian Segmental dan
Suprasegmental
Segmental adalah fonem yang bisa dibagi. Contohnya, ketika kita mengucapkan
“Bahasa”, maka nomina yang dibunyikan tersebut (baca: fonem), bisa dibagi
menjadi tiga suku kata: ba-ha-sa. Atau dibagi menjadi lebih kecil lagi sehingga
menjadi: b-a-h-a-s-a.
Suprasegmental adalah sesuatu yang menyertai fonem tersebut yang itu bisa berupa tekanan suara (intonation), panjang-pendek (pitch), dan getaran suara yang menunjukkan emosi tertentu. Nah, kesemua yang tercakup ke dalam istilah suprasegmenal itu tidak bisa dipisahkan dari suatu fonem.
Suprasegmental adalah sesuatu yang menyertai fonem tersebut yang itu bisa berupa tekanan suara (intonation), panjang-pendek (pitch), dan getaran suara yang menunjukkan emosi tertentu. Nah, kesemua yang tercakup ke dalam istilah suprasegmenal itu tidak bisa dipisahkan dari suatu fonem.
b.
Langage, Langue, dan Parole Menurut Ferdinand
De Saussure
Dalam konsep
Saussure, trio Langage-langue-parole dipergunakan untuk menegaskan objek
kajian linguistiknya. fenomena bahasa secara umum disebutnya langage, dimana
langue memiliki segi individual dan segi sosial, sedangkan langue dan parole
merupakan bagian dari langage yang memiliki kedua aspek yang ada dalam langage
tersebut. Dilihat secara keseluruhan, langage adalah multi bentuk,
heteroklit dan psikis, langage menjadi bagian, baik dari bidang individu
maupun dari bidang sosial dan tidak dapat diklasifikasikan dalam kategori fakta
kemanusiaan mana pun karena tidak dapat menonjolkan keutuhannya.
Langue adalah bahasa sebagai objek sosial
yang murni, dan dengan demikian keberadaannya terletak di luar individu, yakni
sebagai seperangkat konvensi-konvensi sistemik yang berperan penting di dalam
komunikasi. Langue adalah bagian sosial dari langage, berada
di luar individu, yang secara mandiri tidak mungkin menciptakan maupun
mengubahnya. Langue hanya hadir sebagai sebuah kontrak di masa lalu di
antara para anggota masyarakat. disamping sebagai institusi sosial, langue
juga berfungsi sebagai sistem nilai. Bagi Saussure, langue adalah suatu
sistem tanda yang mengungkapkan gagasan. untuk menjelaskan langue
sebagai suatu sistem, ia mengemukakan suatu perbandingan bahasa sebagai langue
dapat dikomparasikan dengan main catur. Dalam Filsafat Barat XX, jilid II
Perancis, K. Bertens mengemukakan sebagai berikut:
“Asal-muasal permainan catur tidak relevan untuk memahami permainan itu sendiri.
juga dari bahan apa buah catur dibikin, dalam artian ia tidak menyumbang
sesuatupun untuk pengertiannya. Permainan catur merupakan suatu sistem
relasi-relasi di mana setiap buah catur mempunyai fungsinya. dan sistem itu
dikonstituir oleh aturan-aturannya. Menambah atau mengurangi jumlah buah catur
berarti mengubah sistem secara esensial. Atau mengubah aturan untuk
menggerakkan kuda umpamanya berarti mengubah seluruh sistem. Demikianpun
bahasa. Bahasa itu bukan substansi, melainkan bentuk saja, kata Saussure (Le
langage ne’est pas une substance mais use forme).”
Kebalikan
dengan langue, parole merupakan bagian dari bahasa yang
sepenuhnya individual. parole dapat dipandang, pertama, sabagai
kombinasi yang memungkinkan penutur mampu menggunakan kode bahasa untuk
mengungkapkan pikiran pribadinya. Di samping itu, kedua, parole pun
dapat dipandang sebagai mekanisme psiko-fisik yang memungkinkan penutur
penampilkan kombinasi tersebut. Aspek kombinatif ini mengimplikasikan bahwa parole
tersusun dari tanda-tanda yang identik dan senantiasa berulang. karena
adanya keberulangan inilah maka setiap tanda bisa menjadi elemen dari langue. Secara
singkat dapat dikatakan bahwa parole merupakan penggunaan aktual bahasa
sebagai tindakan individu-individu.
Dalam
pengertian umum, langue adalah abstraksi dan artikulasi bahasa pada
tingkat sosial budaya, sedangkan parole merupakan ekspresi bahasa pada
tingkat individu dan setara dengan kalam. dengan demikian dapat dibedakan
antara langue (yang histroris) dengan parole (yang a-historis).
Tugas 3
Contoh Kasus
Ketidaklancaran Berujar
1. Contoh Kasus Afasia
AFASIA atau sulit bicara yang biasa
terjadi pascastroke biasanya membuat seseorang rendah diri dan minder bergaul.
Padahal, menjalin komunikasi dengan lingkungan menjadi obat mujarab untuk
penyembuhan stroke.
Di usia yang terhitung belia, David Dow, 10, dari Madison, Ohio, Amerika Serikat, telah mengalami stroke. Stroke yang terjadi pada 1995 ini disebabkan adanya kelainan genetik langka yang menyumbat pembuluh darahnya. Pembuluh darah akhirnya pecah dan membuat David terkena stroke.
Melalui dua operasi, David pun bisa lolos dari serangan stroke tersebut. Namun, dia mengalami afasia atau kesulitan bicara pascastroke. Tentu saja, kondisi ini membuat David kurang percaya diri. Beruntung, ibu dan ayah tirinya sangat mendukung dan memberi semangat kepada David. Begitu juga dengan teman-teman di sekolahnya yang memberikan dukungan agar David tidak minder dengan afasia yang dialaminya.
Keluarga Dow juga memberikan David les belajar tambahan setiap hari, kursus komputer, dan kelas seni. David juga berhasil menulis buku tentang kisahnya sebagai pasien stroke yang laris di pasaran, mendesain peralatan tulis dan kaus. Kini, David sedang menjalani kuliahnya di perguruan tinggi lokal dan bekerja paruh waktu di perusahaan ritel Abercrombie and Fitch.
David adalah contoh pasien afasia yang berhasil bertahan hidup berkat dukungan keluarga dan lingkungan sekitarnya. Tapi di luar itu, lebih banyak orang yang gagal kembali bergaul dengan lingkungan garagara dia mengalami afasia.
Afasia didefinisikan sebagai gangguan berbahasa yang disebabkan oleh adanya kerusakan pada otak. Penyebab tersering adalah akibat stroke.
”Tidak hanya stroke, bisa juga karena tumor otak atau perdarahan di pusat otak,” ujar spesialis saraf dari FKUI/RSCM, dr Silvia Francina Lumempouw SpS (K) ketika dihubungi Sindo.
Silvia mengemukakan, umumnya afasia muncul bila otak kiri terganggu. Sebab, otak kiri bagian depan berperan untuk kelancaran menuturkan isi pikiran dalam bahasa dengan baik dan otak kiri bagian belakang untuk mengerti bahasa yang didengar dari lawan bicara. Sementara otak kanan, berfungsi mengontrol kegiatankegiatan nonverbal dan persepsi ruang.
”Jika otak bagian kiri depan yang tersumbat, maka pasien menjadi tidak bisa berbicara. Jika menyerang otak kiri belakang, dia masih bisa bertutur, namun tidak nyambung,” ujar dia.
Ada juga beberapa laporan yang menyatakan, gangguan afasia dapat terjadi di belahan otak kanan, meski kasusnya sangat jarang. Peran pasien afasia dalam kehidupan sosial mungkin berubah setelah terkena gangguan ini. Bukannya membanyol, dia mungkin menjadi orang yang hanya menertawakan lelucon. Jika penderita adalah pengatur seluruh kegiatan keluarga, kini dia hanya bisa duduk tenang di acara tersebut. Kunci untuk menangani penderita adalah tetap disertakan dalam acara keluarga, namun dalam cara yang berbeda dan merupakan kegiatan yang memuaskan dan penting.
Seiring waktu, banyak penderita afasia dapat tetap kaya dan menikmati kehidupan yang sosial bermanfaat. Belajar untuk berkomunikasi lagi adalah salah satu fungsi penting rehabilitasi terapi afasia.
“Keinginan untuk terhubung dengan orang lain melalui bahasa, itulah esensi dari rasa kemanusiaan kita,” kata Susan Jackson, ahli patologi kemampuan bahasa dan bicara, yang juga dosen di University of Kansas Medical Center, Kansas City, Kansas, Amerika Serikat.
The National Aphasia Association menyatakan, setengah dari pasien dengan gejala afasia pulih dalam beberapa hari pertama. Namun, ada banyak faktor yang menyebabkan proses pemulihan membutuhkan waktu lebih lama. Hasil sebuah studi dari lebih 100 pasien stroke dengan afasia mencatat adanya kemajuan signifikan pada pasien yang menjalani terapi intensif, melalui sesi individual dengan seorang profesional terlatih selama minimal 12 minggu.
“Gangguan pada otak tidak akan sembuh sendiri dari waktu ke waktu, tetapi perlu intervensi untuk membuat pemulihan yang lebih baik,” ujar Jackson.
Bagi Anda yang sedang berjuang melawan afasia, wajar jika Anda merasa tidak nyaman berada dalam situasi sosial. Anda mungkin kurang percaya diri dalam kemampuan untuk berkomunikasi sehingga masih ragu untuk berbicara.
Anda memang tidak dapat berbicara dengan baik atau memahami percakapan dengan cepat, tapi itu tidak berarti Anda tidak boleh berpartisipasi dalam komunikasi verbal. Terapi bicara dan bahasa dapat membantu Anda meraih kembali kemampuan bahasa dan kepercayaan sosial Anda.(tty)
2. Contoh
Kasus Disleksia
TEMPO.CO, Jakarta - Jika ditanya rute jalan dari
rumahnya di Bintaro menuju studio Trans TV, Deodatus Andreas Deddy Cahyadi
Sundjojo atau Deddy Corbuzier, 35 tahun, tak bisa menjelaskannya. Bahkan, ia
tak ingat rute jalan dari rumahnya ke rumah mertuanya.
"Apalagi nama Anda, 100 persen saya tidak tahu," ujarnya kepada Heru Triyono dan fotografer Yoseph Arkian dari Tempo, yang mengikutinya nyaris separuh hari, Selasa lalu.
Nama bintang tamu di acara Hitam Putih pun selalu dituliskan di papan putih di bibir panggung agar ia bisa melihatnya. Kelupaan itu pernah terjadi saat bintang tamunya komposer ternama Addie M.S. Untung Addie tak tersinggung.
Itu terjadi karena Deddy mengidap disleksia, semacam gangguan otak, di mana pengidapnya kerap tak bisa menghafal, membaca, juga menulis. Dalam kasus Deddy, otak kirinya yang tak berfungsi baik. Namun demikian, Deddy mengaku memiliki intelligence quotient (IQ) 160. Jika benar, itu artinya kecerdasan Deddy setara dengan Albert Einstein. Benar atau tidak, kita tak tahu. Jangan-jangan dia juga lupa berapa sebenarnya tingkat IQ-nya.
Disleksia ini membuat Deddy sempat tak naik kelas saat SD. "Saya tidak naik kelas, tapi ayah tidak marah,” katanya. Padahal, saat itu ayahnya tidak tahu dia mengidap disleksia. Itulah yang membuat Deddy semakin kagum pada ayahnya.
Ia baru menyadari dirinya mengidap disleksia saat SMA. Ia sering bingung karena sering lupa. Yang pasti ia tidak bisa ingat nama orang, apalagi nama jalan. Untungnya, ia selalu diantar sopir sejak kecil. Karena disleksia ini pula, Deddy memilih kuliah di Jurusan Psikologi Universitas Atmajaya Jakarta selulus dari SMA Santa Theresia. "Saya ingin menerapi diri sendiri,” tuturnya.
Kemungkinan, kata Deddy, karena disleksia ini ia menjadi pribadi yang blakblakan dalam berbicara sehingga dia terkesan tidak menyenangkan. Ia pun mengakui tidak memiliki teman dekat dari dulu, kecuali sang istri. Ia juga tidak pernah bergaul dengan teman-temannya. "Saya ini kuper (kurang pergaulan) dan seperti anti-sosial," katanya.
Deddy pun mengaku banyak yang tidak suka dengan perangainya saat syuting. Bahkan, ada bintang tamu yang pulang karena dimaki-maki olehnya. "Serius. Bintang tamu itu pulang. Dia artis laki-laki," ujar Deddy yang mengambil master psikologi di Universitas London, Inggris.
Di sela-sela kesibukannya, pria berusia 35 tahun ini menghabiskan waktu bersama putranya, Askanio Nikola Corbuzier, 6 tahun. Ia kadang-kadang menyalurkan hobi menulisnya di blog.
"Apalagi nama Anda, 100 persen saya tidak tahu," ujarnya kepada Heru Triyono dan fotografer Yoseph Arkian dari Tempo, yang mengikutinya nyaris separuh hari, Selasa lalu.
Nama bintang tamu di acara Hitam Putih pun selalu dituliskan di papan putih di bibir panggung agar ia bisa melihatnya. Kelupaan itu pernah terjadi saat bintang tamunya komposer ternama Addie M.S. Untung Addie tak tersinggung.
Itu terjadi karena Deddy mengidap disleksia, semacam gangguan otak, di mana pengidapnya kerap tak bisa menghafal, membaca, juga menulis. Dalam kasus Deddy, otak kirinya yang tak berfungsi baik. Namun demikian, Deddy mengaku memiliki intelligence quotient (IQ) 160. Jika benar, itu artinya kecerdasan Deddy setara dengan Albert Einstein. Benar atau tidak, kita tak tahu. Jangan-jangan dia juga lupa berapa sebenarnya tingkat IQ-nya.
Disleksia ini membuat Deddy sempat tak naik kelas saat SD. "Saya tidak naik kelas, tapi ayah tidak marah,” katanya. Padahal, saat itu ayahnya tidak tahu dia mengidap disleksia. Itulah yang membuat Deddy semakin kagum pada ayahnya.
Ia baru menyadari dirinya mengidap disleksia saat SMA. Ia sering bingung karena sering lupa. Yang pasti ia tidak bisa ingat nama orang, apalagi nama jalan. Untungnya, ia selalu diantar sopir sejak kecil. Karena disleksia ini pula, Deddy memilih kuliah di Jurusan Psikologi Universitas Atmajaya Jakarta selulus dari SMA Santa Theresia. "Saya ingin menerapi diri sendiri,” tuturnya.
Kemungkinan, kata Deddy, karena disleksia ini ia menjadi pribadi yang blakblakan dalam berbicara sehingga dia terkesan tidak menyenangkan. Ia pun mengakui tidak memiliki teman dekat dari dulu, kecuali sang istri. Ia juga tidak pernah bergaul dengan teman-temannya. "Saya ini kuper (kurang pergaulan) dan seperti anti-sosial," katanya.
Deddy pun mengaku banyak yang tidak suka dengan perangainya saat syuting. Bahkan, ada bintang tamu yang pulang karena dimaki-maki olehnya. "Serius. Bintang tamu itu pulang. Dia artis laki-laki," ujar Deddy yang mengambil master psikologi di Universitas London, Inggris.
Di sela-sela kesibukannya, pria berusia 35 tahun ini menghabiskan waktu bersama putranya, Askanio Nikola Corbuzier, 6 tahun. Ia kadang-kadang menyalurkan hobi menulisnya di blog.
3.
Contoh Kasus Kegagapan
Cukup 1x3 jam terap bicara anak
kelas 5 SD yang sudah 5 tahun tidak berbicara, padahal kesehariannya anak
tersebut bisa berbicara. Seorang anak kelas 5 SD di Surabaya datang ke sebuah
klinik hipnoterapi dengan orang tuanya dengan keluhan:
• Sudah 5
tahun ini sama sekali tidak berbicara di sekolahnya, padahal di rumah bisa
berbicara, walaupun bicaranya sangat minimal.
• Setiap pagi sang anak ini diantar orang tuanya ke sekolah. Begitu sampai pagar sekolah, sang anak tidak berbicara sepatah katapun sampai pulang nantinya.
• Keluhan teman-temannya, kalau berkomunikasi dengan temannya, sambil tunju-tunjuk dan tarik-tarik tangan atau baju, paling berkata “eh..eh...eh...” dengan isyarat tangan, misalnya mau pinjam penghapus.
•Teman-temannya menyebutnya si bisu.
• Kepala sekolahnya meminta kepada orang tuanya agar anak ini dibawa ke profesional untuk diterapi, karena nanti kelas 6 SD akan ada tes kelulusan SD dari Depdikbud. Kepala sekolah itu mengatakan, “pasti anak ini tidak akan lulus dan akan mencemarkan nama baik SD tersebut, karena selama ini 100% lulus”. Bila kenaikan dari kelas 5 ke kelas 6 ini masih juga bisu, kepala sekolah menyarankan dengan halus agar sang anak pindah sekolah saja.
• Ayah ibunya sudah capai membawanya ke berbagai psikolog bertahun-tahun, tetapi belum juga sembuh dan tidak terungkap mengapa sang anak tidak mau berbicara. Komunikasi dengan psikolog selama ini dengan tulisan, sang anak tidak menjawab juga.
Lalu, orang tua sanga anak mencoba ke klinik hipnoterapi dengan bertemu beberapa terapis. Pertama-tama, terapis mencoba berkomunikasi dengan sang anak senyaman mungkin, terapi anak tersebut tetap juga tidak bisa berbicara .
• Setiap pagi sang anak ini diantar orang tuanya ke sekolah. Begitu sampai pagar sekolah, sang anak tidak berbicara sepatah katapun sampai pulang nantinya.
• Keluhan teman-temannya, kalau berkomunikasi dengan temannya, sambil tunju-tunjuk dan tarik-tarik tangan atau baju, paling berkata “eh..eh...eh...” dengan isyarat tangan, misalnya mau pinjam penghapus.
•Teman-temannya menyebutnya si bisu.
• Kepala sekolahnya meminta kepada orang tuanya agar anak ini dibawa ke profesional untuk diterapi, karena nanti kelas 6 SD akan ada tes kelulusan SD dari Depdikbud. Kepala sekolah itu mengatakan, “pasti anak ini tidak akan lulus dan akan mencemarkan nama baik SD tersebut, karena selama ini 100% lulus”. Bila kenaikan dari kelas 5 ke kelas 6 ini masih juga bisu, kepala sekolah menyarankan dengan halus agar sang anak pindah sekolah saja.
• Ayah ibunya sudah capai membawanya ke berbagai psikolog bertahun-tahun, tetapi belum juga sembuh dan tidak terungkap mengapa sang anak tidak mau berbicara. Komunikasi dengan psikolog selama ini dengan tulisan, sang anak tidak menjawab juga.
Lalu, orang tua sanga anak mencoba ke klinik hipnoterapi dengan bertemu beberapa terapis. Pertama-tama, terapis mencoba berkomunikasi dengan sang anak senyaman mungkin, terapi anak tersebut tetap juga tidak bisa berbicara .
Lalu terapis
tinggalkan anak tersebut sendirian dan terapi meminta sanga anak menuliskan
apa-apa yang dirasakannya. Terapis datang kembali 5 menit kemudian, ternyata
sang anak tidak menuliskan apa-apa di kertasnya, terapisaya menduga sang anak
sudah trauma menghadapi para terapis. Setelah 30 menit terapis urut sarafnya,
sang anak bisa bersuara dan menjawab pertanyaan terapis dan sembuh. Suara sang
anak masih pelan, lalu terapis ajarkan teknik vokal sehingga sang anak bisa
bersuara agak keras. Tentu saja wajah sang ayah dan ibunya sangat gembira.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar